Monday, January 29, 2018

prioritas?

"Dia sibuk, saya bukan prioritasnya."

Di umur kita yang idealnya lagi masa-masa produktif, sering kita insecure kayak gitu gak, sih? Baik itu terhadap sahabat, pacar, temen deket, temen biasa.

Coba deh..

Entah gimana, tapi seiring berjalannya waktu, saya paham bahwa, "The time is sometimes slight off." Ketika saya ada waktu luang, orang yang ingin saya temuin lagi sibuk. Pun sebaliknya ketika ada orang yang minta ketemu saya, saya yang berhalangan. Itu, udah bukan hal yang asing lagi.

Masuk umur 20an, udah lebih banyak yang perlu diurus selain nongkrong2 cantik. Udah harus mulai persiapin buat 'real life' yang lebih dari sekedar tubes.

Makin sini makin bisa mentolerir ketidakhadiran seseorang, bahkan untuk orang2 terdekat yang biasa diajak jalan hampir seminggu sekali pun. Paham, bahwa dia juga punya hidup yang harus dia persiapkan. Bahwa dia lebih memprioritaskan hidupnya sendiri dibandingkan memprioritaskan kita. Dan itu, adalah hal yang sangat manusiawi. Dia berhak untuk itu, karena toh, kalau dia memprioritaskan kita, apa kita punya jaminan buat kesuksesan hidupnya kelak? Nope. We too prioritize our ownselves for that case.

Cuman emang, ketika kita berlari lebih cepat dibandingkan yang lainnya, mungkin ada masanya ketika kita sudah melewati masa2 terberat itu, kita ngerasa sepi. Jalan sendiri. Kayak nggak ada temen. Karena kita lagi berada di check point, yang idealnya akan sangat lebih baik ketika kita habiskan waktu di titik rehat ini bareng temen2 kita, dimana temen2 kita yang lain masih otw ke titik ini. Ya nda apa2. Setiap orang punya kecepatan masing2. Nikmatin. Jangan sampe karena kita ngerasa sendiri, lantas kita playing victim, bilang kalau kita bukan prioritasnya lagi. Jangan sampai karena kita ngerasa sendiri, malah bete kalau ada temen kita yang gak bisa temenin. Nggak gitu caranya. Nggak.

Tulisan ini dibuat bukan untuk menyinggung. Maaf, kalau misal emang ada yang tersinggung. Tulisan ini dibuat karena saya pernah, ada di masa yang ngerasa kayak sendiri, punya temen tapi kayak yang gak punya. Yang ternyata, itu semua cuman ada di pikiran saya.

Sampai akhirnya saya bersyukur, masih ada temen yang bisa diajak bercanda lewat chat/ sosmed. Masih ada temen yang bisa ditelepon, walaupun udah lama banget gak ketemu langsung. Masih ada temen yang menyempatkan buat bantu ketika ada masalah, lewat chat. Surely, we shall thank technologies for that.

Selama komunikasi itu gak hilang, saya rasa gak masalah kalau mereka gak hadir secara fisik. Nggak apa2 kangen terus sama orang2 hampir tiap hari. Nggak masalah buat jalan kemana2 sendiri, lama2 jadi hal yang biasa.

Justru dengan menyadari itu, harusnya kita bisa lebih menghargai waktu2 yang mereka sempatkan, walaupun secara online. Apalagi waktu yang disempatkan secara offline. Sebagaimana waktu kita adalah sesuatu yang berharga untuk dimanfaatkan sebaik mungkin, waktu mereka juga adalah suatu hal yang berharga yang gak mungkin bisa kita ganti.

Dan, saya juga ikut seneng ketika teman2 saya punya kesibukan masing2. Itu berarti, mereka juga sedang menempa diri mereka, yang mana itu adalah hal yang baik untuk mereka.

Jadi, apa masih harus, untuk menuntut diprioritaskan?

Salam,
199x

Sunday, January 21, 2018

sehat san?

Usia 20 tahun ke atas (atau berapapun usia kamu), sudah waktunya untuk mengurangi kebaperan.

Meminimalisir perasaan yang berlebihan terhadap sesuatu yang belum pasti ada timbal baliknya.
Menghindari memimpikan hal-hal yang utopis dan tanpa kerja keras.
Menghilangkan idealisme berlebihan tentang laki-laki atau perempuan idamanmu.
Tergesa-gesa dalam menerjemahkan perasaan yang bahkan kita belum tau hendak bermuara kemana dan kapan.
Bahkan belum tahu juga kalau orang yang bagi kita menarik juga merasa kita menarik buat dia.
Kurangi ekspektasi-ekspektasi berlebihan tentang hubungan.
Rangkai tujuanmu sendiri tentang masa depan, ada atau tidak ada orang yang istimewa, bukan berarti kita tidak bisa punya tujuan hidup yang keren.

"Eh, gimana kamu sama nganu? Ada perkembangan nggak?"
"Dia ngomong apa aja ke kamu?"
"Ih, dia beneran into you tuh"
"Kamu pasti kangen tuh sama dia nggak lihat lama banget" (padahal tahap kangen itu sesuatu yang serius sekali menurutku)

Pertanyaan-pertanyaan itu sekarang lucu sekali untuk didengar. Lucu, karena aku nggak tahu mau jawab apa. Karena aku bahkan tidak tahu perkembangan seperti apa yang ideal dari sebuah hubungan. Aku juga tidak mau terburu-buru memutuskan perasaan orang lain terhadapku. Dan rindu? Terdengar naif.

Di usia ini aku ingin belajar menahan dan memperhatikan hal-hal kecil di sekelilingku dan memahami baik baik hal hal yang mempengaruhi perasaanku. Belajar seperti ini memang tidak mudah. Kalau saja aku tidak mengalami kejadian-kejadian yang memberikanku pelajaran dan sesekali kurang menyenangkan di masa yang lalu, tentu aku tidak bisa memetik pelajaran dan ketenangan seperti ini.

Tidak mudah, aku juga sesekali berhenti dan membuat kesalahan, tetapi bukankah menjadi dewasa dan belajar menghargai diri sendiri adalah proses seumur hidup?

Semangat dalam menjalani hidup dan mendewasakan perasaanmu yang berharga. Iya, ini untuk kamu. Siapapun kamu yang merasa belajar banyak setelah menginjak usia 20 tahun.
Maaf kalau tulisanku tidak begitu bagus, membuatku nampak terlalu vokal, menimbulkan kenyinyiran akibat ketidaksetujuan, apalagi menimbulkan prasangka.
Aku hanya ingin menulis. Menyampaikan pendapatku. Berharap siapapun dapat saling belajar.

199x

Wednesday, January 17, 2018

who cares?

[P.S. Kita Bukan Siapa-Siapa]

Ingin mengetahui kabarmu, tapi takut membuatmu terganggu dengan peduliku. Ingin bercerita padamu, tapi takut membuatmu lelah mendengar ocehanku. Ingin sekedar menyapamu, tapi takut membuatmu terpaksa membalas pesanku.
Ini bukan tentang aku yang tidak merindukanmu, tapi tentang aku yang kesulitan memberi label untuk aku dan kamu. Juga tentang aku yang belajar untuk tidak menumbuhkan rasa sayang melebihi rasa sayangku kepada seorang teman. Melalui waktu-waktu itu sungguh tidak sesederhana yang kau pikirkan.
Ini bukan tentang gengsi yang terlalu tinggi, tapi tentang aku yang menjaga hati. Karena jikalau iya kamu menepis perasaanku, itu akan membuatku sangat sakit hati dan terus menyalahkan diri sendiri. Makanya aku lebih senang diam dan bersabar, meski hati menginginkan kamu ada di sini–mudah dijangkau olehku.
Sungguh, ini bukan tentang aku yang tidak pernah berusaha mencarimu.Tapi ini tentang kamu yang tidak cukup mampu membuatku yakin; bahwa aku boleh mencarimu kapanpun aku mau.

—199x

Aku masih sama..

Maaf jika aku masih suka mengenangmu, masih suka lancang mengungkit-ungkit cerita lama. Aku hanya ingin kamu memahami, hingga detik ini aku masih sosok yang dulu.

Sosok yang dulu kerap memuja senyum di bibirmu, sosok yang acap kali sulit tidur manakala rindu terus menggebu di dada, sosok yang dengan berani menyuarakan rasanya padamu.

Dan sampai detik ini pula, rasa itu masih berjiwa di sana, menunggu kamu kembali. Meski aku paham betul, bahwa pulangmu bukan lagi aku.

Hingga saat ini, aku merasa memang hanya kamu yang sanggup mengerti diri ini, yang mampu mengenalku lebih dalam. Untuk kamu tau, aku masih seperti dulu.

Yang selalu membutuhkanmu.

Di manapun kamu saat ini, dengan siapapun kisahmu berlanjut, entah apapun mimpi yang sedang kamu rajut, tak tau doa apa yang kini sering kamu panjatkan.

Percayalah, aku bahagia untuk itu. Karena aku masih orang yang sama, sosok yang bahagia, manakala kamu bahagia pula.

199x

Sesuatu yang lebih dalam.

Rasaku bukan sekadar "aku mencintaimu."
Rinduku bukan sepintas "cepatlah pulang,"
Pun peduliku tidak sebatas "baik-baik disana, ya?"

Ada yang lebih dalam dari itu. Perihal rasa yang kupendam, yang tak mampu terucap oleh kata, namun mampu dirasakan oleh hati.

Kita memang bukan sekadar untaian kata penuh romansa—kita hanyalah sebuah afeksi yang nyata. Dimana aku dan kamu bukan sekadar ikatan belaka namun lebih dalam dari itu.

Aku memang tidak pandai mengucapkan—seberapa penting kamu untukku. Namun, cukuplah tubuhku menunjukkannya padamu dan biarkan Tuhan yang tahu bagaimana aku menghabiskan sepertiga malamku mengucap namamu dalam sujudku.

   —199x
    "Aku mencintaimu lebih dari sekadar kata yang terucap."

kapan galau-nya kapan post-ingnya.

Aku mulai mengerti saat semua perhatian dan sikapmu berubah perlahan.
Kamu menjauhiku seolah kita tak lagi satu tujuan.
Entah saat ini kamu hidupkan aku dalam ceritamu sebagai apa?
Sedangkan tentang kita, kamu tak benar-benar berusaha menjaga.

Tanpa kau sadari, aku yang kerap berusaha tetap kuat
Harus terus bertahan dengan cara yang berat
Saat saat tersulit untuk mengertimu haruskah lagi lagi aku yang mengalah?
Hingga yang kudapati lebih sering kecewa
untuk kesekian kalinya; kau tak memaknai hadirku sebagai siapa.

Aku terbiasa menerima abaimu, membiasakan tak menerima kabarmu— sesering dulu.
Selalu aku yang mencari tahu bahkan dimana keberadaanmu. Tapi semua tak berguna, tak bermakna.
Kamu memilih berpikir, segala sikap dan perhatianku membuatmu risih.
Hingga mudah saja bagimu memberiku pilihan, yang belakangan kutahu ternyata itu semua hanya alasan.

Ternyata caramu begitu pintar membiarkan aku yang kini terlantar
Sedari awal harusnya aku tak begitu saja menempatkan percaya padamu.
Seharusnya juga aku tak benar benar dalam jatuh pada hatimu.
Kalau akhirnya yang harus kuterima ini membuatku semakin tahu
bahwa untuk berjuang, aku harus mengerti batas, mana yang tak baik untuk kulanjutkan dan mana yang tak pantas kupertahankan.

199x

[Kontradiksi dan Pertanyaan]

Dalam fisika, kita mengenal Hukum Archimedes.

Terapung jika massa jenis benda lebih kecil daripada massa jenis cairan,
melayang jika massa jenis benda sama dengan massa jenis cairan,
tenggelam jika massa jenis benda lebih besar dari massa jenis cairan.

Ketiga prinsip ini melandasi Hukum Archimedes dan sudah terbukti keabsahannya. Dan tentu, ketiga hukum ini adalah bagian dari hukum fisika yang absolut, mengatur alam dan seisinya.

Namun entah bagaimana, dengan tuturmu kau buatku terbang—bukan melayang, tetapi terbang—laksana burung Merpati peliharaanmu yang kabur musim gugur lalu.

Dalam tatapmu aku tenggelam, serupa batu yang terempas ke dasar danau. Padahal kita sama-sama manusia. Massa jenis kita seharusnya diasumsikan sama, namun mengapa aku tenggelam?

Apakah ini perihal rasa? Jika massa jenis rasaku lebih besar daripadamu, apakah itu karena aku mencintaimu? Wajarlah jika aku tenggelam, namun bagaimana caramu membuatku terbang? Semua yang kupelajari seakan tidak berarti—tanyaku tidak terjawab.

—199x
Lantas, bagaimana dengan massa jenis rasamu? Apa kau tenggelam, terbang, keduanya sekaligus, atau tidak sama sekali?